Legislator Soroti UNCLOS 1982 dengan Perjanjian Bilateral

16-09-2021 / PANITIA KHUSUS
Anggota Pansus RUU tentang Landasan Kontinen DPR RI Romo H.R. Muhammad Syafi’i dalam RDPU Pansus RUU Landasan Kontinen bersama Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/9/2021). Foto: Runi/Man

 

Anggota Pansus Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Landasan Kontinen DPR RI Romo H.R. Muhammad Syafi’i mempertanyakan apakah keberadaan RUU Landasan Kontinen ini ke depannya dapat menganulir penjanjian bilateral yang telah ada sebelumnya. Ia meminta agar RUU Landasan Kontinen memberi penjelasan lebih spesifik agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda.

 

“Ada dialektika yang sudah popular, perjanjian bilateral itu sakral. Apalagi yang melakukannya adalah negara negara yang memiliki sovereignty, berdaulat. Sedangkan UNCLOS itu kan Sovereign rights. Perjanjian bilateral itu atas nama kedaulatan,” terang Romo dalam RDPU Pansus RUU Landasan Kontinen bersama Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/9/2021).

 

Kehadiran RUU Landasan Kontinen merupakan upaya Indonesia untuk dapat mengoptimalkan sumber daya alam Indonesia yang melimpah. Selain itu juga untuk dapat memberikan perlindungan terhadap pulau-pulau terluar Infonesia yang startegis serta rentan dari intervensi pihak asing yang dapat mengancam kedaulatan negara.

 

Dia melanjutkan, untuk bisa mencapai perluasan sebesar 350 mil, keberadaan United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) 1982 atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut tentunya harus bersentuhan dengan perjanjian bilateral terhadap negara lain. Sehingga pemahaman tersebut menjadi hal yang penting guna menghindari adanya bunyi pasal yang tidak tepat dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).

 

“Semua perjanjian yang sudah ada sebelum ada undang-undang ini dianggap batal, atau undang-undang ini berlaku untuk perjanjian yang akan datang? Sedangkan perjanjian bilateral yang sudah terjalin dan berlaku sebagaimana adanya. Kan itu bisa pilihan. Itu mungkin perlu mendapat kejelasan,” lanjut Romo.

 

Pada kesempatan itu, Kepala BIG Muh Aris Marfai menuturkan, ketika perjanjian bilateral sudah stabil, hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Penggunaan UNCLOS tersebut berfokus pada peluang Indonesia untuk dapat mencapai ekstend hingga 350 mil. “Seperti contoh Indonesia dengan Australia tadi bisa dimaksimalkan. Event dengan di atas Natuna, mungkin nanti dengan Philippina, sebagian dengan Vietnam dan sebagainya,” tutur Aris.

 

Berdasarkan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, zona laut dapat dibedakan berdasarkan kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara di wilayah laut. Prinsipnnya kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights) adalah dua hal yang berbeda sesuai dengan konteks hukum internasional. (hal/es)

BERITA TERKAIT
Pansus: Rekomendasi DPR Jadi Rujukan Penyelidikan Penyelenggaraan Haji
30-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR RI terkait penyelenggaraan Ibadah Haji 2024 telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi setelah melakukan...
Revisi UU Tentang Haji Diharapkan Mampu Perbaiki Penyelenggaraan Ibadah Haji
26-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji 2024 DPR RI mendorong adanya revisi Undang-undang Haji seiring ditemukannya sejumlah...
RUU Paten Jadikan Indonesia Produsen Inovasi
24-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Panitia Khusus RUU Paten Subardi menyatakan aturan Paten yang baru akan mempercepat sekaligus memudahkan layanan pendaftaran...
Pemerintah Harus Lindungi Produksi Obat Generik Dalam Negeri
24-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Paten Diah Nurwitasari meminta Pemerintah lewat sejumlah kementerian agar mampu...